Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran
yang bermaksud untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada
konsumen dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen.Sasaran
akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar barang yang telah dihasilkan
bisa dijual kepada konsumen.Dengan kata lain,pada hakikatnya secara
positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan
barang konsumen dapat dijual kepada konsumen.
Untuk
melihat persoalan iklan dari segi etika bisnis,kami ingin menyoroti
empat hal penting, yaitu fungsi iklan, beberapa persoalan etis
sehubungan dengan iklan, arti etis dari menipu dalam iklan dan kebebasan konsumen
Fungsi iklan
Iklan sebagai Pemberi Informasi
iklan sebagai pemberi informasi menyerahkan keputusan untuk membeli
kepada konsumen itu sendiri. Maka, iklan hanyalahmedia informasi yang
netral untuk membantu pembeli memutuskan secara tepat dalam membeli
produk tertentu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, iklan lalu
mirip seperti brosur. Namun,
ini tidak berarti iklan yang informatif tampil secara tidak menarik.
Kendati hanya sebagai informasi, iklan dapat tetap dapat tampil menarik
tanpa keinginan untuk memanipulasi masyarakat.Sehubungan
dengan iklan sebagai pemberi informasi yang benar kepada konsumen, ada
tiga pihak yang terlibat dan bertanggung jawab secara moral atas
informasi yang disampaikan sebuah iklan. Pertama, produsen yang memeiliki produk tersebut. Kedua, biro iklan yang mengemas iklan dalam segala dimensi etisnya: etis, estetik, infomatif, dan sebagainya. Ketiga, bintang iklan.
Iklan sebagai pembentuk pendapat umum
Secara
etis, iklan manipulasi jelas dilarang karena iklan semacam itu
benar-benar memanipulasi manusia, dan segala aspek kehidupannya, sebagai
alat demi tujuan tertentu di luar diri manusia. Iklan persuasif sangat
beragam sifatnya sehingga kadang-kadang sulit untuk dinilai etis
tidaknya iklan semacam itu. Bahkan batas antara manipulasi
terang-terangan dan persuasi kadang-kadang sulit ditentukan.
Untuk
bisa membuat penilaian yang lebih memadai mengenai iklan persuasif, ada
baiknya kita bedakan dua macam persuasi: persuasi rasional dan persuasi
non-rasional. Persuasi rasional tetap mengahargai otonomi atau kebebasan individu dalam membeli sebuah produk, sedangkan persuasi non-rasional tidak menghiraukan otonomi atau kebebasan individu.
Suatu
persuasi dianggap rasional sejauh daya persuasinya terletak pada isi
argumen itu. Persuasi rasional bersifat impersonal.ia tidak di hiraukan
siapa sasaran dari argumen itu.yang penting adalah isi argumen
tepat.dalam kaitan dengan iklan,itu berati bahwa iklan yang mengandalkan
persuasi rasional lebih menekankan isi iklan yang mau disampaikan
.jadi,kebenaran iklan itulah yang ditonjolkan dan dengan demikian
konsumen terdorong untuk membeli produk tersebut.maka,iklan semacam
itumemang berisi informasi yang benar,hanya saja kebenaran informasi
tersebut ditampilkan dalam wujud yang sedemikian menonjol dan kuat
sehingga konsumen terdorong untuk membelinya.dengan kata
lain,persuasinya didasarkan pada fakta yang bisa dipertanggung jawabkan
Beberapa Persoalan Etis
Ada beberapa persoalan etis yang ditimbulkan oleh iklan, khususnya iklan yang manipulatif dan persuasif non-rasional. Pertama,
iklan merongrong otonomi dan kebebasan manusia. Dalam banyak kasus ini
jelas sekali terlihat. Iklan membuat manusia tidak lagi dihargai
kebebasannya dalam menentukan pilihannya untuk membeli produk tertentu.
Banyak pilihan dan pola konsumsi manusia modern sesungguhnya adalah
pilihan iklan. Manusia didikte oleh iklan dan tunduk pada kemauan iklan,
khususnya iklan manupulatif dan persuasif yang tidak rasional. Ini
justru sangat bertentangan dengan imperatif moral Kant bahwa manusia
tidak boleh diperlakukan hanya sebagai alat demi kepentingan lain di
luar dirinya, termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Pada fenomena iklan manipulatif, manusia benar-benar menjadi objek untuk
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan tidak sekedar di beri
informasi untuk membantunya memilih produk tertentu.
Kedua,
dalam kaitan dengan itu, iklan manipulatif dan persuasif non-rasional
menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi
konsumtif. Secara ekonomis hal ini tidak baik karena dengan demikian
akan menciptakan permintaan ikut menaikkan daya beli masyarakat. Bahkan,
dapat memacu prduktivitas kerja manusia hanya memenuhi kebutuhan
hidupnya yang bertambah dan meluas itu. Namun, di pihak lain muncul
masyarakat konsumtif, di mana banyak dari apa yang dianggap manusia sebagai kebutuhannya sebenarnya bukan benar-benar kebutuhan.
Ketiga,
yang menjadi persoalan etis yang serius adalah bahwa iklan manipulatif
dan persuasif non-rasional malah membentuk dan menentukan identitas atau
citra memiliki barang sebagaimana ditawarkan iklan. Ia belum merasa
diri penuh kalau belum memakai minyak rambut seperti diiklankan bintang
film terkenal, dan seterusnya. Identitas manusia modern lalu hanyalah
identitas massal, serba sama, serba tiruan, serba polesan, serba instan.
Keempat,
bagi masyarakat Indonesia dengan tingkat perbedaan ekonomi dan sosial
yang tinggi, iklan merongrong rasa keadilan sosial masyarakat. Iklan
yang menampilkan yang serba mewah sangat ironis dengan kenyataan sosial
di mana banyak anggota masyarakat masih berjuang untuk sadar hidup.
Iklan yang mewah tampil seakan tanpa punya rasa solidaritas dengan
sesamanya yang miskin.
Makna Etis Menipu dalam Iklan
Entah
sebagai pemberi informasi atau sebagai pembentuk pendapat umum, iklan
pada akhirnya membentuk citra sebuah produk atau bahkan sebuah
perusahaan di mata masyarakat. Citra ini terbentukk bukan terutama
karena bunyi atau penampilan iklan itu sendiri, melainkan terutama
terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk yang diiklankan
dengan apa yang disampaikan dalam iklan itu, entah secara tersurat
ataupun tersirat. Karena itu, iklan sering dimaksudkan sebagai media
untuk mengungkapkan hakikat dan misi sebuah perusahaan atau produk.
Prinsip
etika bisnis yang paling relevan di sini adalah prinsip kejujuran,
yakni mengatakan hal yang benar dan tidak menipu. Prinsip ini tidak
hanya menyangkut kepentingan banyak orang, melainkan juga pada akhirnya
menyangkut kepentingan perusahaan atau bisnis seluruhnya sebagai sebuah
profesi yang baik.
Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa iklan yang dan karena itu secara moral
dikutuk adalah iklan yang secara sengaja menyampaikan pernyataan yang
tidak sesuai dengan kenyataan dengan maksud menipu atau yang menampilkan
pernyataan yang bisa menimbulkan penafsiran yang keliru pada pihak
konsumen yang sesungguhnya berhak mendapatkan informasi yang benar apa
adanya tentang produk yang ditawarkan dalam pasar. Dengan kata lain,
berdasarkan prinsip kejujuran, iklan yang baik dan diterima secara moral
adalah iklan yang mem beri pernyataan atau informasi yang benar
sebagaimana adanya.
Kebebasan Konsumen
Setelah
kita melihat fungsi iklan, masalah etis dalam iklan, dan makna etis
dari menipu dalam iklan, ada baiknya kita singgung sekilas mengenai
peran iklan dalam ekonomi, khususnya pasar. Iklan merupakan suatu aspek
pemasaran yang penting, sebab iklan menentukan hubungan antara produsen
dan konsumen. Secara lebih konkrit, iklan menentukan pula hubungan
penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli, yang pada
gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar.
Kode
etik periklananan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh
iklan ini. Tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai
pihak: ahli etika, konsumen (atau lembaga konsumen), ahli hukum,
pengusaha, pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa
harus berarti merampas kemandirian profesi periklanan. Yang juga penting
adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi periklanan perlu
benar-benar punya komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik bagi
masyarakat. Namun, kalau ini pun tidak memadai, kita membutuhkan
perangkat legal politis, dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang
periklanan beserta sikap tegas tanpa kompromi dari pemerintah, melalui
departemen terkait, untuk menegakkan dan menjamin iklan yang baik bagi
masyarakat.